Menyamai Kebebasan Diri dalam Belenggu Asumsi di Media Sosial

Sudah menjadi hukum alam bahwa fenomena bergerak dengan cara kerjanya sendiri, tanpa suntikan subjektivitas dari diri kita, fenomena tersebut tampak secara murni tanpa unsur lain yang mempengaruhi. Justru dari fenomena itu, kita sebagai manusia yang memiliki subjektivitas dituntut untuk menyesuaikan diri. Misalnya di mana kecanggihan teknologi memaksa kita untuk bersikap adaptif dan akomodatif tidak menutup kemungkinan minim selektif. Jagad dunia maya disesaki dengan hiruk pikuk sosial media. Semua platform berlomba mengembangkan fitur yang tentunya agar mudah dijangkau publik untuk mendulang rating. Terlepas dari kepentingan komersial, setiap platform memiliki daya pikat dan ciri khas masing-masing dengan unggahan dari yang paling receh hingga imajiner.

TokTik sukses besar dalam menarik target pasar. Dewasa – anak kecil pun, saat ini mungkin sudah mengunduh aplikasi tersebut. Karena ciri khasnya, orang-orang berlomba memproduksi konten video yang menarik untuk diperlihatkan kepada orang lain. Bahkan, video-video tersebut non-elitis, artinya hanya untuk mendapatkan klik dan insight, orang pembuat konten seringkali melanggar batas norma yang ada. FYP (For You Page) adalah istilah yang sering ditemui.

FYP adalah halaman rekomendasi atau halaman awal yang langsung muncul ketika membuka aplikasi tersebut, yang biasanya berisi kumpulan konten yang sedang naik daun atau populer. FYP tidak hanya dipengaruhi oleh tagar, tetapi juga latar belakang suara (soundtrack) musik yang digunakan. Banyak musik yang sebelumnya tidak populer, ketika dijadikan latar belakang suara, musik tersebut jadi naik daun dan terkenal. Memang, apapun yang ada di situ, semuanya bisa berubah. Salah satu lagu yang pernah muncul di FYP adalah lagu Toxic dari BoyWithUke. Lagu itu bercerita tentang seseorang yang memiliki teman toxic (beracun) dengan kepribadian sangat kasar, negatif, dan tidak peduli. Gambaran itu dapat ditemui di lirik awal masuk lagu tersebut: “All my friends are toxic, all ambitionless. So rude and always negative.” (Semua temanku beracun, semua tanpa ambisi. Sangat kasar dan selalu negatif).

Dia merasa temannya selalu tidak ada jadi lebih baik menyendiri. Dia membutuhkan teman baru, tapi tentu saja itu tidak cepat dan mudah. “Aku butuh teman baru, tapi itu tidak secepat dan semudah itu.” Lagu Toxic seringkali dijadikan sebagai background sound suatu konten video, dan tidak jarang lagu tersebut digunakan hanya untuk FYP saja. Namun, banyak juga lagu lain yang dijadikan sebagai suara latar suatu konten. Terlepas dari FYP atau kontennya, lagu ‘Toxic’ dimaksudkan untuk dilihat dari sudut pandang eksistensialisme Sartre dalam kaitannya dengan kenyataan yang terjadi saat ini.

Sartre menawarkan filsafat eksistensialisme sebagai antitesis dari fenomenologi Husserl (Ito Prajna, 2011:193-200). Semua itu, jika dilihat dalam istilah dialektika Hegel, disebut dengan tesis-antitesis-sintesis (antitesis-nya). Sartre bertolak dari filsafat fenomenologi Husserl. Sartre mengatakan Husserl telah mengkhianati pendiriannya dan cita-cita awalnya untuk menjadikan fenomenologi sebagai suatu metode filsafat yang sungguh-sungguh radikal (Ito Prajna, 2011:202). Husserl tidak cukup berani untuk menerima segala konsekuensi yang muncul dari fenomenologinya sendiri. Bagi Sartre, eksistensialisme adalah konsekuensi radikal yang pasti muncul dari fenomenologi.

Cara Sartre membaca fenomenologi kemudian menjadi titik balik munculnya eksistensialisme, setidaknya terangkum dalam dua pengertian penting, yaitu (Ito Prajna, 2011:192): pertama, pengertian tentang diri; kedua, pengertian tentang ketiadaan. Jika konsep diri berkaitan dengan pemahaman atas manusia sebagai individu, maka konsep ketiadaan berkaitan dengan pemahaman atas relasi manusia sebagai individu dengan ‘yang lain’ di luar dirinya. Konsep yang kedua (ketiadaan), dalam filsafat eksistensialisme, Sartre hanya ingin memperjuangkan kebebasan individu dari relasi-penilaian-situasi-dan sebagainya yang datang dari individu lain. Bahwa kebanyakan dari manusia bergantung terhadap manusia lain. Individu satu tidak bisa lepas dari relasi orang lain, bahkan ‘hidup-mati’ seseorang didasarkan pada penilaian yang datang dari orang lain.

Di satu titik, jika seseorang menyelimuti dirinya dengan berbagai penilaian orang lain terhadap dirinya, dan tidak dapat keluar dari lingkaran setan itu karena ia tidak mau mengubahnya, itulah kematian hidup (living death) (Thomas Hidya, 2011: 184). Sebaliknya, jika seseorang menggunakan kebebasannya untuk mengubah dan melepaskan diri dari situasi tersebut, maka ia benar-benar hidup dengan kesungguhannya. Oleh karena itu, ‘kebebasan’ adalah hal yang penting dalam memahami filsafat eksistensialisme Sartre. Relasi kita dengan orang lain sama halnya dengan berbicara soal kebebasan. Jika relasi kita dengan orang lain penuh dengan racun, maka tidak ubahnya seperti di neraka. Singkatnya, penilaian orang lain memiliki pengaruh besar terhadap penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Maka dari itu, muncul ungkapan “Orang lain adalah neraka.”

Barangkali pernyataan di atas sering terjadi. Ketidakmampuan dalam melepaskan diri dari penilaian orang lain, oleh Sartre, diungkapkan dalam metafora ‘tatapan’. Kenyataan bahwa orang lain selalu memberikan penilaian kepada kita adalah kurang lebih sama halnya dengan kenyataan bahwa orang lain selalu menatap kita. Tidak bisa dicegah dan tidak bisa dihindari. Dalam keseharian, kita sebagai individu pribadi tidak bisa lepas dari melihat dan dilihat, yang terkadang membuat kita mengalami keterasingan dan kesenjangan di hadapan orang lain.

Ketergantungan seseorang terhadap penilaian orang lain mengindikasikan bahwa kita dipaksa untuk ada bagi orang lain. Kendati demikian, ketidakmampuan dalam melepaskan diri dari penilaian orang lain melalui aktivitas ‘menatap’ dan ‘ditatap’ menimbulkan potensi kesalahan. Potensi kesalahan itu adalah perasaan keterasingan di antara mereka yang terlibat, dan itulah bagian dari relasi manusia yang hendak di kritik oleh Sartre. Manusia saling menjadikan orang lain sebagai objek, hingga mereka hidup dalam relasi saling mengobjekkan dan destruktif.

Lagu ‘Toxic’ yang pernah memenuhi FYP di TokTik menjadi tren bagi setiap manusia di zaman sekarang dalam mengabarkan kepada khalayak perihal realitas lingkungan yang hegemonik dan kejam. Dengan menampilkan konten video dibalut lagu Toxic tersebut, pembuat konten hanya ingin mengabarkan kepada masyarakat umum bahwa video tersebut memperlihatkan kejadian atau fenomena yang paradoks. Artinya, di satu sisi kita bertindak atau berucap sesuai dengan kehendak dan karakteristik masing-masing, di sisi lain kita dipaksa menelan cara pandang dan penilaian yang tidak-tidak nan aneh-aneh dari orang lain.

Sebelum lanjut, barangkali orang-orang lupa, bahwa sebenarnya ketika kita menyelami dunia maya tidak ubahnya dengan kita memasuki alam metafisika. Pendek kata, segala sesuatu yang ada dan terjadi hanyalah ilusi belaka, fatamorgana. Dunia tersebut bukan nyata walaupun tidak menutup kemungkinan juga ada potensi fakta. Namun, kembali lagi kita dipaksa untuk menerima dan mengamini kejadian-fenomena-realitas yang tampil di dunia maya. Tidak sedikit orang di zaman sekarang yang berubah sikap-cara pandang-tutur kata karena konten-konten yang ada di dalam media sosial yang fana.

Berpijak pada pemikiran Sartre, bahwa munculnya eksistensialis digunakan untuk mendepak ihwal absurd. Absurditas yang sering ditemui manusia pada umumnya bersifat transendental dan insidental. Absurditas itu sangat mudah ditemui oleh manusia, sebagai makhluk sosial, membutuhkan orang lain. Dalam hal ini, tentu tidak bisa lepas dari penilaian dan cara pandang orang lain. Perihal ketergantungan kita terhadap ada-untuk-orang-lain adalah garis besar ajaran yang ditawarkan oleh Sartre. Dalam instrumen itu, yang satu berusaha mengobjekkan yang lain dan sebaliknya yang lain juga berusaha untuk mengobjekkan yang satu.

Di media sosial, banyak konten yang menampilkan realitas yang memaksa kita. Kita dipaksa untuk mengikuti alur perkembangan tren yang disajikan dalam konten tersebut. Sebenarnya, kita tidak tahu seberapa efektif dan berdampaknya mengikuti tren tersebut, namun hanya karena ingin mendapat perhatian dan ambisi yang membara, kita bisa lepas dari batasan dan tuntutan norma yang wajar. Karena itu, struktur dasar hubungan antar manusia terdiri dari penolakan timbal-balik. Artinya, jika orang lain menolak saya sebagai subjek, maka saya menjadi objek (Alex Lanur, 2011:76). Begitu juga sebaliknya.

Jika ditinjau lebih jauh, dalam dialektika negasi timbal-balik nyaris tidak ada ruang untuk relasi subjek-subjek. Hubungan subjek-objek bersifat transenden, tidak tetap. Di lain waktu, yang satu menjadi subjek dan yang lain menjadi objek, di lain waktu lagi yang lain menjadi subjek dan yang satu menjadi objek. Relasi subjek-objek itu kemudian, jika dilihat dari kacamata Marx, bisa menimbulkan alienasi. Keterasingan yang lahir dari hubungan antar manusia yang kontradiktif. Selain bertindak atas kemauan hati nurani, juga ada kepentingan memenuhi hasrat ambisi dan tren yang sedang terjadi.

Jika alienasi versi Marx menggambarkan kondisi dimana buruh atau proletar mengalami keadaan terasing dari kehidupannya dalam bekerja, maka alienasi versi Sartre adalah ketika seseorang terjebak dalam keadaan kehilangan eksistensi dan esensi makna hidup mereka. Mereka terlalu asyik mengikuti arus perkembangan tren hingga mengabaikan eksistensi substansialnya sebagai individu manusia yang ‘terbebas’ dari belenggu cara pandang dan penilaian yang datang dari luar kendalinya (Frans-Magnis, 2011:8). Oleh karena itu, manusia mempunyai tanggung jawab penuh terhadap dirinya sendiri. Dengan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, manusia menurut Sartre sudah bertanggung jawab atas realitas seluruh dunia, terhadap semua orang.

Terlepas dari itu, sejatinya setiap manusia memiliki kesadaran untuk mempertahankan intersubjektivitas. Merespons situasi dengan kapasitas kemampuannya adalah bentuk memunculkan sikap eksistensialis. Oleh karena itu, untuk menggeser ketidakmampuan diri terhadap ketergantungan atas orang lain, dibutuhkan keterbukaan terhadap relasi antar manusia yang positif, yang membuat masing-masing lebih menjadi subjek bukan objek (Thomas Hidya, 2011:185). Relasi seperti ini harus benar-benar dimunculkan dan patut dipelihara dalam dinamika antar tindakan dan kata, karena jika menjadi rusak dan beracun, seperti yang ditunjukkan Sartre, orang lain dapat sungguh menjadi neraka bagi kita.

——

Referensi: https://lsfdiscourse.org/eksistensialisme-sartre-menyemai-kebebasan-diri-dalam-belenggu-asumsi-di-media-sosial/

Tinggalkan komentar